Hospital Storylist

Hari 2, Masih Menunggu

Rabu dini hari, 02:00 Wita.

Aku membolak balikkan badanku yang lelah namun tidak bisa terlelap. Kulihat brankar di sebelah kiriku. Terlihat si kakak yang juga gelisah dalam tidurnya. Posisi badannya tidak bisa miring ke kiri atau ke kanan karena adanya infus di tangan kanan dan spalak di tangan kiri membuatnya harus terus berbaring telentang. 
"Kakak belum tidur?" Tanyaku sambil berbaring miring menghadapnya.
" Iya Bun, panas." Jawabnya.
Aku menarik nafasku.
Kuakui malam ini hawa memang terasa lebih panas, ditambah lagi tak ada satu pun pendingin ruangan terpasang di kamar yang kami tempati ini. Aku bertanya dalam hati, bagaimana bisa dalam kamar kelas II di rumah sakit tidak ada pendingin ruangan, bahkan kipas angin plastik saja tidak ada. 
"Besok, Bunda bilangin ayah supaya bawain kipas angin kemari." Kataku lagi.
Aku memaksa untuk menutup mata walaupun terus menerus terjaga. Sebentar-sebentar kuarahkan pandanganku ke brankar kakak. Sepertinya dia sudah tertidur. Aku bangkit dari posisi tidurku dan melangkah ke brankarnya. Memperbaiki selimutnya, memperhatikan tangannya yang patah dan memastikan posisi tangan patahnya lebih tinggi daripada siku. Kemudian menyentuh dahinya dengan punggung tanganku. Alhamdulillah suhu badannya normal. 

Kembali kubaringkan badanku di brankar kosong tadi. Berbaring dengan posisi menghadap ke kiri, ke arah kakak dengan posisi kedua telapak tangan tertangkup di bawah pipi kiriku dan kaki tertekuk meringkuk. Isi kepalaku penuh, pikiranku tertuju ke rumah, mengingat anak-anakku yang tinggal dengan suami. Membuat air mataku menetes. Perasaan rindu juga sedih bercampur aduk. Kuusap air mataku, jangan menangis.. jangan menangis, kataku dalam hati. Untuk kesekian kalinya kututup kedua mata, berdoa dan mencoba tertidur.

05:30 Wita
Aku terbangun saat mendengar suara berisik dari luar kamar. Seketika aku duduk dan membenarkan jilbab cadarku. Pandangan kuarahkan ke jendela yang kacanya tembus pandang. Terlihat seorang lelaki sedang menarik tong sampah yang rodanya mengeluarkan suara cukup keras. Kualihkan pandangan pada kakak yang masih pulas. Kudekati dia dan kembali ku sentuh dahinya untuk memastikan kalau dia tidak demam. Setelah itu aku menuju kamar mandi untuk bersih-bersih. 

Tak lama setelah aku keluar dari kamar mandi dan duduk di samping kakak yang sudah bangun, terdengar suara handle pintu yang berbunyi klik diikuti dengan suara pintu yang sedikit berderit. Aku menoleh ke arah pintu. 
"Permisi Bu," 
Seorang perempuan berusia sekitar tiga puluhan masuk sambil membawa alat pel dan langsung membersihkan lantai tanpa melihat ke arahku yang sedang mengangguk dan menatapnya. Tak sampai lima menit perempuan tersebut keluar dan menutup kembali pintunya. 

Aku mengambil botol air mineral yang dibawa suamiku semalam. Kutuang airnya ke dalam gelas plastik merah kemudian meminumnya. Beberapa saat aku terdiam, duduk di brankar menikmati rasa kantuk yang masih ada walaupun aku sudah cuci muka. Sementara si kakak sudah asyik dengan ponselnya. Kulihat jam di ponsel sudah menunjukkan pukul enam lebih. Dari arah pintu terdengar lagi suara seseorang yang membuka handle pintu. Pintu terbuka dan terlihat seorang perawat perempuan memakai seragam hijau yang sedang membawa sphygmomanometer atau tensimeter portable yang bisa didorong/ditarik. 
"Mba Aisya?" Tanya perawat tersebut.
"Iya mba," Jawabku dan kakak bersamaan.
"Kita tensi dulu ya," Katanya.
Aku hanya diam sementara kakak mengiyakan.
Alhamdulillah hasil tensi kakak normal dengan tekanan darah 110/80 mmHg.

Perawat dengan tensimeter keluar, disusul kemudian rombongan perawat lagi masuk sambil menyapa dengan suara yang intonasinya kencang dan riang. 
"Pagi... Pintu sampingnya dibuka ya Bu, biar ada pergantian udara," Kata seorang yang berbaju kaos santai seraya membuka pintu teras samping. 
"Oh iya," Kataku. 
Aku tidak tau harus berkata apa-apa karena cukup terkejut dengan kedatangan mereka yang rombongan.
"Mba Aisya ya?" Tanya perawat yang berbaju kaos tadi.
Kakak mengiyakan sedang aku sibuk memperhatikan rombongan perawat yang kalau tidak salah ada enam atau tujuh orang. Kuperhatikan wajah mereka satu persatu. 
"Kenalkan ini Mba Desy, perawat yang akan bertanggung jawab merawat Mba Aisya hari ini." Lanjutnya..
Perawat yang bernama desy langsung mengangguk sedangkan si kakak masih mengiyakan saja. Aku? Masih sibuk memindai wajah mereka sampai akhirnya mereka keluar ruangan.

Sekitar pukul sebelas siang, perawat yang berbaju kaos tadi masuk bersama lelaki yang usianya sekitar awal 30 an dengan tubuh kurus dan tinggi sekitar 170 an memakai jubah operasi berwarna hijau yang kemudian memperkenalkan diri sebagai dokter ortopedi dan beliau yang akan melakukan operasi pada tangan kakak. 
" Ok, tangan tidak bengkak, hari kamis besok kita operasi ya," Kata dokter.
"Semoga plat logamnya masih ada, kalau sudah terpakai terpaksa kita akan rujuk ke rs tarakan atau samarinda." Lanjut dokternya.
"Haaaaa... Dirujuk Dok?" Tanyaku.
"Iya, berdoa ya, mudah-mudahan masih ada platnya, jadi bisa segera operasi besok." Kata dokter lagi pada kami.

Ya Robbi... Aku istighfar dalam hati. Lututku lemah, seketika pikiranku mulai lagi berkecamuk. Bagaimana kalau... Aaahh.. pikiranku benar-benar kacau. 

** Bersambung **

Komentar

Postingan Populer